Penulis: Boni Hargens
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
Kemarin 24 Oktober 2017, Presidium Alumni 212 mendesak Perppu Ormas No.2 Tahun 2017 dibatalkan. Massa aksi menilai Perppu Ormas adalah bentuk kriminalisasi dakwah Islam dan berpotensi menghilangkan landasan hukum, menghilangkan hak praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan menghilangkan hak berserikat dan berkumpul. Apapun alasan dari kubu ini, yang jelas DPR telah menyepakati bahwa Perppu Ormas dinaikkan menjadi UU meski dengan konsekuensi bahwa ada peluang untuk revisi.
Pertanyaan kita saat ini adalah kalau Undang-Undang Ormas sudah disahkan, apakah persoalan selesai? Bagaimana dengan massa HTI dan para simpatisannya yang kecewa dengan proses politik di Parlemen kemarin?
Perubahan Perppu Ormas No 2/2017 menjadi UU akan membawa sejumlah implikasi politik yang tidak mudah:
1. Di level internal parlemen, akan muncul perdebatan panjang terkait pasal dan ayat yang hendak direvisi dan proses itu akan alot karena akan bercampur dengan kepentingan politik Pemilu Legislative dan Pilpres 2019. Kubu yang hari ini mengambil sikap menolak Perppu Ormas menjadi UU akan terus memainkan isu ini sebagai modal politik untuk melawan partai pendukung Perppu dan dalam mendelegitimasi pemerintahan Presiden Jokowi.
2. Di level masyarakat, ada dua kubu yang akan bereaksi keras yaitu kubu ideologis keagamaan yang tergabung dalam HTI dan organisasi-organisasi/kelompok-kelompok lain yang mirip secara ideologis dan kubu liberal yang menekankan kebebasan sebagai prinsip pokok demokrasi. Kubu yang kedua ini, yaitu kaum libertarian, akan terus mengkritisi pemerintah dengan alasan bahwa Perppu/UU Ormas adalah bentuk pembatasan hak demokratik warga negara. Dua kelompok ini, ideologis keagamaan dan kaum libertarian, memiliki tujuan yang sama yaitu menolak Perppu/UU Ormas namun mereka berdiri pada posisi epistemologis yang berbeda. Meski demikian, kedua kelompok ini berpotensi menjadi kekuatan politik yang melemahkan citra pemerintahan Presiden Jokowi dan partai-partai pendukungnya.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, ada diksi yang sama yang dibangun oleh kedua kubu ini yaitu menuduh Jokowi sebagai diktator dan lebih tepatnya pelanggar HAM. Kerumitan politik akan terus bertambah seiring dengan memanasnya suhu pertarungan politik menuju 2019 yang dimulai dengan pilkada serentak 2018. Partai-partai penentang pemerintah akan memanfaatkan isu perppu ormas sebagai momentum untuk mencap pemerintahan Jokowi sebagai “anti-Islam”. Dalam pilkada serentak 2018, terutama di daerah yang berbasis pemilih terbesar seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, isu anti-Islam akan dimainkan sebagai senjata melawan partai-partai propemerintah.
Target mereka ganda: memenangkan pilkada 2018 dan memenangan pilpres 2019. Kemenangan Anies-Sandi di Pilkada Jakarta 2017 adalah preseden yang membangkitkan semangat kelompok radikal untuk terus memainkan isu primordial (SARA) sebagai modal politik melawan Jokowi di pilpres 2019.
Karena sasarannya adalah pemilu dan pilpres 2019, maka bisa dipastikan bahwa gerakan kelompok anti-Perppu Ormas sejalan dengan gerakan politik kelompok oposisi yang hari ini begitu antusias ingin menumbangkan Jokowi. Semua riak-riak politik yang ada sekarang dan yang akan terus mencuat sampai 2019 adalah scenario yang terencana dan dibangun secara sistematis oleh kubu politik tertentu.
Ini tentu proses politik yang irasional. Namun, untuk kepentingan publik, seluruh proses politik yang irasional itu tidak terasa saat ini karena pemerintah masih focus pada penyelesaian program kerja pemerintahan dan tidak merespons secara agresif setiap bentuk manuver politik lawan. Akan tetapi, secara social, proses ini berbahaya untuk jangka panjang. Kalau masyarakat tidak menyadari manuver-manuver politik yang memakai isu SARA sebagai ancaman bagi peradaban demokrasi dan masa depan NKRI, fenomena Pilkada Jakarta 2017 bisa terulang. Secara mengejutkan, kelompok irasional yang banyak dikritik di media justru menjadi pemilih dominan saat penghitungan suara.
Sebagai antisipasi, yang mesti dilakukan pemerintahan Jokowi adalah:
1. mendorong DPR agar secepatnya mengesahkan UU Ormas dalam waktu dekat supaya isu ini tidak dipolitisasi menjelang pilpres 2019. Maka, partai-partai pemerintah mesti melakukan lobi dan konsolidasi politik yang cerdas di parlemen agar isu ini tidak terus menjadi bola liar;
2. melakukan rekonsolidasi umat melalui para ulama dan tokoh-tokoh keagamaan yang pluralis dan nasionalis supaya tidak ada lagi dikotomi atau faksionalisasi di kalangan umat sehingga para pecundang politik tidak lagi memainkan kondisi ini sebagai dagangan politik. Di sinilah peran NU dan Muhamadiyah, termasuk MUI, sangat diperlukan. Negara mesti mampu memberdayakan organisasi-organisasi ini sebagai kekuatan untuk membangun persatuan dan integrasi sosial.
************