Pengamat Militer, Connie Rahakundini Bakrie
INDOPOST, JAKARTA - Langkah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengungkapkan perihal pengadaan 5.000 pucuk senjata oleh institusi non-TNI dengan mencatut nama Presiden Jokowi terus mengundang kritik. Panglima TNI bahkan diminta pensiun dini ketimbang terus bermanuver politik.
Menurut pengamat pertahanan UI, Connie Rahakundini Bakrie, Gatot beberapa kali melakukan manuver yang membawa TNI ke ranah politik. Manuver terakhir dilakukan pada Jumat (22/9) ketika mengungkapkan informasi intelijen di depan para purnawirawan TNI soal pengadaan 5.000 senjata oleh institusi non-TNI yang rekamannya beredar luas.
Di mata Connie, berbeda dengan panglima-panglima TNI lainnya, Gatot lebih gemar menggunakan hal-hal yang bersifat drama politik praktis demi mencari panggung.
“Kalau memang beliau ingin menjadi capres atau cawapres 2019, ya belajarlah dari Agus Harimurti Yudhoyono. Dia (Agus) tahu kalau masuk ke politik itu harus meletakkan segala jabatannya, baju TNI,” ujar Connie, kemarin.
“Ada dua pilihannya, dia (Gatot) kan dalam masa penyelesaian jabatan. Daripada bikin riuh resah, bersikaplah kesatria. Kalau mau masuk politik, ya sudah Anda resign, taruh tongkat komando dan masuk partai. Tapi kalau tetap memilih TNI, ya sudah pakai seragam itu, pikul segala tanggung jawab dengan segala konsekuensinya,” imbuhnya.
Ketua Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung Muradi pun menilai, sebagai Pang-lima TNI, ‘setengah kaki’ Gatot ada di dunia politik. Gatot memang pernah menyatakan tidak etis membicarakan peluangnya di Pilpres 2019 dan ingin fokus menjalankan tugas. Namun, menurut Muradi, sikap dan tindakan Panglima TNI bertolak belakang.
“Gatot terkesan malu-malu buat maju. Karakter masyarakat kita memang begitu, tidak suka dengan calon yang terlalu terbuka mau dicalonkan. Tapi, di sisi lain, pernyataan-pernyataan dia masuk wilayah politik ketimbang soal keamanan negara,” ujar Muradi.
Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menilai pernyataan Gatot soal pengadaan 5.000 senjata oleh institusi non-TNI salah tempat. Meski akhirnya diluruskan Menko Polhukam Wiranto, jelas dia, hal itu telanjur mengundang reaksi masyarakat. “Lima ribu senjata itu sama dengan atau lima batalion tempur. Ada apa dan mengapa? Harusnya diselesaikan saja secara intern atau kalau perlu dibawa ke rapat terbatas kabinet.”
Perlu evaluasi
Koalisi Masyarakat Sipil meminta ada evaluasi khusus bagi Panglima TNI. “Hakikat dari informasi intelijen sebetulnya bersifat rahasia sehingga langkah Panglima TNI menyampaikan informasi intelijen ke publik jelas tindakan salah dan keliru. Ia harus menyampaikan kepada Presiden sebagai end user,” terang Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Pada kesempatan itu, Deputi Koordinator Kontras Puri Kencana Putri mengingatkan negeri ini butuh tentara nasional profesional. “Negara ini tidak ingin tentara berpolitik. Kita ingin serdadu yang tunduk kepada konstitusi, tunduk kepada kontrol sipil demokratik.”
Kapuspen TNI Mayjen Wuryanto menegaskan pernyataan Panglima TNI itu sebenarnya bukan untuk konsumsi publik. “Pernyataan Panglima TNI dalam acara silaturahim dengan purnawirawan TNI bukan untuk konsumsi publik atau off the record.”
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan masih menunggu sikap Presiden Jokowi.
(mi/indo)