Presiden Joko Widodo (Jokowi)
INDOPOST, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) 31 Desember 2016 lalu telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri, hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Perpres ini menyebutkan penanganan Pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara Pemerintah pusat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia dan/atau organisasi internasional, yang merupakan organisasi internasional di bidang urusan migrasi atau di bidang kemanusiaan yang memiliki perjanjian dengan pemerintah pusat.
“Penanganan Pengungsi memperhatikan ketentuan internasional yang berlaku umum dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” sebut Pasal 3 Perpres ini.
Perpres ini juga mengatakan penanganan pengungsi dikoordinasikan oleh Menteri (yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang politik, hukum, dan keamanan). Koordinasi dimaksud dalam rangka perumusan kebijakan meliputi: a. Penemuan; b. Penampungan; c. Pengamanan; dan d. Pengawasan keimigrasian.
Penemuan Pengungsi dalam keadaan darurat di perairan wilayah Indonesia, sesuai Perpres ini, dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
“Lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang Pencarian dan Pertolongan melaksanakan operasi Pencarian dan Pertolongan terhadap kapal yang diduga berisi Pengungsi yang melakukan panggilan darurat,” bunyi Pasal 6 Perpres ini.
Operasi Pencarian dan Pertolongan sebagaimana dimaksud, menurut Perpres ini, dapat melibatkan instansi terkait, meliputi: a. Tentara Nasional Indonesia (TNI); b. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri); c. kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan; d. lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keamanan dan keselamatan laut atau yang disebut dengan nama Badan Keamanan Laut; atau e. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait lainnya yang melaksanakan tugas di perairan wilayah Indonesia.
Instansi terkait sebagaimana dimaksud dan masyarakat yang menemukan Pengungsi dalam keadaan darurat, menurut Perpres ini, berkoordinasi dengan lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang Pencarian dan Pertolongan.
Pengungsi yang ditemukan dalam keadaan darurat , menurut Perpres ini, segera dilakukan tindakan berupa: a. memindahkan Pengungsi ke kapal penolong jika kapal akan tenggelam; b. membawa ke pelabuhan atau daratan terdekat jika aspek keselamatan nyawa Pengungsi dalam keadaan terancam; c. mengidentifikasi Pengungsi yang membutuhkan bantuan medis gawat darurat; d. menyerahkan orang asing yang diduga Pengungsi kepada Rumah Detensi Imigrasi di pelabuhan atau daratan terdekat
“Dalam hal di pelabuhan atau daratan terdekat belum terdapat Rumah Detensi Imigrasi sebagaimana dimaksud, penyerahan Pengungsi dilakukan kepada Kantor Imigrasi di wilayah setempat. Dalam hal di pelabuhan atau daratan terdekat belum terdapat Rumah Detensi Imigrasi dan Kantor Imigrasi sebagaimana dimaksud, penyerahan Pengungsi dilakukan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat,” bunyi Pasal 10 dan 11 Perpres ini.
Selanjutnya Petugas Rumah Detensi Imigrasi melakukan pendataan melalui pemeriksaan: a. dokumen perjalanan; b. status keimigrasian; dan c. Identitas. “Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud terdapat orang asing yang menyatakan diri sebagai Pengungsi, petugas Rumah Detensi Imigrasi berkoordinasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui kantor Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia,” bunyi Pasal 13 ayat (3) Perpres ini.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penemuan Pengungsi dalam keadaan darurat di perairan wilayah Indonesia diatur dengan Peraturan Kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang Pencarian dan Pertolongan setelah berkoordinasi dengan Menteri (Polhukam, red),” bunyi Pasal 17 Perpres ini.
Perpres ini menegaskan, Rumah Detensi Imigrasi berkoordinasi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota setempat untuk membawa dan menempatkan Pengungsi dari tempat ditemukan ke tempat penampungan. Dalam hal tempat penampungan belum tersedia, Pengungsi dapat ditempatkan di tempat akomodasi sementara, yang ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pemerintah daerah kabupaten/kota, menurut Perpres ini, menentukan tempat penampungan bagi Pengungsi, yang harus memenuhi kriteria: a. dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan dan ibadah; b. berada pada satu wilayah kabupaten/kota dengan Rumah Detensi Imigrasi; dan c. kondisi keamanan yang mendukung.
Sementara pengungsi dengan berkebutuhan khusus, menurut Perpres ini, dapat ditempatkan di luar tempat penampungan yang difasilitasi oleh organisasi internasional di bidang urusan migrasi setelah mendapat izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia melalui unit kerja yang menangani urusan keimigrasian.
“Pengungsi dengan berkebutuhan khusus sebagaimana dimaksud meliputi Pengungsi: a. sakit; b. hamil; c. penyandang disabilitas; d. anak; dan e. lanjut usia,” bunyi Pasal 27 ayat (3) Perpres ini.
Perpres ini juga menegaskan, pengungsi dapat dipindahkan dari satu tempat penampungan ke tempat penampungan lain dalam rangka penyatuan keluarga, berobat ke rumah sakit, dan penempatan ke negara ketiga.
Menurut Perpres ini, pencari suaka yang permohonan status pengungsinya ditolak dan ditolak final oleh PBB melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi untuk proses Pemulangan Sukarela atau deportasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengamanan
Menurut Perpres ini, pengamanan terhadap Pengungsi pada saat ditemukan dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Instansi pemerintah dan masyarakat setempat yang menemukan Pengungsi melakukan pengamanan yang diperlukan dan berkoordinasi dengan atau melaporkan kepada Polri.
Adapun Petugas Rumah Detensi Imigrasi melakukan pengawasan keimigrasian terhadap Pengungsi. “Pengawasan keimigrasian terhadap pengungsi sebagaimana dimaksud dilaksanakan pada saat ditemukan, di tempat penampungan dan di luar tempat penampungan, diberangkatkan ke negara tujuan, Pemulangan Sukarela, dan pendeportasian,” bunyi Pasal 33 ayat (2) Perpres ini.
Perpres ini juga menegaskan, bahwa pengungsi wajib lapor diri setiap bulan kepada kepala Rumah Detensi Imigrasi setempat untuk mendapat stempel pada kartu identitas khusus pada saat berada di tempat penampungan.
“Pengungsi yang tidak melaporkan diri selama 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang dapat diterima, ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi,” bunyi Pasal 36 ayat (2) Perpres ini.
Menurut Perpres ini, pendanaan yang diperlukan untuk penanganan Pengungsi bersumber dari: a. anggaran pendapatan dan belanja negara melalui kementerian/lembaga terkait; dan/atau b. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 45 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada 31 Desember 2016 itu.
(setkab.go.id/indo)