Oleh: Marlin Bato
Ahad, 15/01/2017
Dulu saya sangat respek dengan orang ini. Mantan rektor, cerdas dan low profile. Siapa menduga dia bakal jadi orang hebat (saat itu belum jadi menteri). Saya nyaris berfikir orang ini sangat sempurna. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya dirawi sedemikian rupa sehingga nikmat dicerna. Bayangan saya, kalau orang ini jadi presiden, Indonesia pasti maju. Dia ibarat berlian yang terkubur dalam lumpur. Ehem...
Tapi tak dinyana, dibalik siluet bayangan purwa rupa, ternyata tersimpan sosok ambisius. Manusiawi memang...!! Tahun 2014, pada saat semua orang berlomba untuk maju sebagai capres, diapun bertekad maju untuk ikut capres. Dia mulai mengikuti konvensi partai biru berlogo segitiga tribina (demokrat). 11 nama beredar mengikuti konvensi itu. Tak tanggung-tanggung, nama beliau tepat berada diurutan kedua peserta konvensi setelah Ali Masykur Musa yang berada diurutan pertama. Wouw...!!
Sayangnya konvensi segitiga tribina itu gagal meraih simpati, ekspektasi tidak tercapai, tak ada partai-partai lain yang melirik ajang bergengsi ini karena aura Jokowi sangat kuat. Sulit ditandingi.. Alhasil, presidential treshold yang menjadi syarat mutlak bagi partai-partai untuk menyodorkan calonnya tidak terpenuhi. Jadilah, konvensi itu seperti sayuran basi, nikmat dilihat tapi kecut dikecap.
Lalu kemana dia berlabu?? Jelas, jalan yang paling aman adalah berkiblat di rute yang benar, karena disana ada harapan untuk meniti karier yang lebih prestis. Jadilah dia didaulat sebagai Juru bicara kampanye Jokow-JK. Tagline yang paling fenomenal waktu itu adalah "Gerakan urun tangan".
"Politik itu terlalu penting untuk kita serahkan pada orang-orang tidak terhormat. Urusan pangan, pendidikan, transportasi, kesehatan, infrastruktur, dll itu diputuskan oleh politik. Saatnya kita semua bersama URUN TANGAN tanggung jawab untuk mendukung orang-orang terbaik yang menjadi pemimpin politik. Jangan biarkan yang memimpin kita adalah orang-orang yang salah," (Anies).
Dari sini, terceburlah dia kedalam magnitudo politik yang begitu kuat. Kata-katanya menyuburkan hati pemuda yang penuh jerami tiba-tiba berubah menjadi hati penuh berani. Singkat kata, Jokowi-JK menang telak. Dia dipilih menjadi menteri.
Namun memang, yang namanya sebuah jabatan tidak pernah berumur panjang. Jokowi punya target yang harus dipenuhi, sementara yang bersangkutan tidak sanggup eksekusi. Jokowi tidak butuh retorika, tapi kerja nyata. Sang mantan, akhirnya diresuffle.
Di lain pihak, ada gelagat tercium. Dia menyusun kekuatan untuk 2019, mirip yang dilakukan SBY ketika mempecundangi Mega. Ada pembangkangan terselubung. Tak pelak, Jokowi pun harus mendepaknya. Menariknya, kali ini dia mulai maju di DKI mengambil peran antagonis, bukan protagonis lagi. Kata-kata yang dulu kerap menjadi inspirasi, kini sudah menguap bersamaan dengan hayalan tingkat tinggi. Sejak saat itu, saya mulai ilfeel dengan sosok yang satu ini. Terlalu banyak retorika, minim solusi..
Miris memang...!!!