ilustrasi
INDOPOST, KALBAR - Perjuangan Marasyah, Cs selaku petani pemilik lahan dari Masyarakat Adat Dayak Jelai Sekayuk, Manismata, Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) ibarat menghadapi tembok besar korporasi. Hak-hak ulayat mereka dijarah oleh pihak perusahaan dan para pemilik modal sambil berlindung di bawah payung hukum penuh kontroversi dan diskriminatif.
“Sejak tahun 2000, ada tiga perusahaan yang memberikan sosialisasi dan menawarkan program Pola Kemitraan yakni Pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KPPA). Ketiga perusahaan lahan perkebunan sawit yakni PT Harapan Hibrida Kalbar-Timur, Lipat Gunting Estate/LGE dan Union Sampoerna Triputra Persada/USTP. Pola KKPA berjalan hingga 2004 sesuai kesepakatan antara masyarakat adat dengan ketiga perusahaan tersebut. Masyarakat adat Suku Dayak Jelak Sekayu dari Kecamatan Manismata terdiri dari 4 Desa yakni Desa Batu Sedau, Desa Suak Burung, Desa Seguling dan Desa Manismata,” ungkap Marasyah saat dihubungi, Rabu (14/12).
“Ada prosedur sertifikasi dan verifikasi lahan oleh masyarakat adat kepada pihak perusahaan sejak tahun 2006 hingga 2013. Namun belum ada tanda kesepakatan terwujudnya pola KKPA. Ketika hal ini dikriminalisasi ke ranah hukum, justru hak-hak kami sebagai masyarakat adat diabaikan oleh pihak Bank Mandiri bersama ketiga perusahaan, juga Koperasi Kusuma Sawit Mandiri, Koperasi Lipat Gunting Persada serta Pemerintah Kabupaten Ketapang,” lanjutnya.
Ia menjelaskan bahwa sebelumnya hal ini sudah disampaikan ke pihak DPRD dan Bupati Ketapang dan selanjutnya telah menyampaikan kepihak Direksi Perusahaan agar segera menyelesaikan secara menyeluruh masalah kebon kemitraan dengan masyarakat serta membangun kebon plasma. Namun sebaliknya tanah adat dijarah untuk dijadikan lahan inti perusahaan.
“Selain lembaga legislatif dan eksekutif di daerah Ketapang, kami juga sudah mengadu persoalan ini ke Presiden RI, Komnas HAM RI, Ombudsman RI serta DPR/DPD RI agar membantu memperjuangkan hak-hak kami. Masyarakat adat hanya ingin mendapatkan keadilan dan hak mereka sesuai dengan kesepakatan awal yakni PolaKemitraan mendapatkan kebun sawit. Ini sudah melanggar hak-hak kami karena kerjasama dan korporasi berbagai pihak bersama Bank Mandiri,” bebernya.
Mengingat adanya unsur pelanggaran hak, diskriminasi dan kriminalisasi terhadap persoalan ini yang sungguh-sunguh mengorbankan kepentingan hak kami, maka kami meminta atensi dan intervensi dari Ombudsman RI, Komnas HAM RI, DPR/DPD RI dan secara khusus Presiden RI, Joko Widodo.
“Atas nama masyarakat yang dikorbankan dalam kasus ini, maka kami meminta kepada Lembaga Tinggi Negara dan secara khusus Presiden RI, Bapak Joko Widodo agar mendesak pihak Bank Mandiri untuk segera menyerahkan sertifikat pemilik lahan sawit pola KKPA tahap II yang sudah akad kredit sejak tanggal 31 Desember 2013.
Kami juga meminta pihak Ombudsman dan Komnas HAM RI untuk segera melakukan verifikasi faktual atas lahan kami yang telah diambil perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit tahap III untuk selanjutnya diproses hukum karena telah merampas hak-hak kami. Juga kami meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi dan membongkar kejahatan korporasi yang melibatkan oknum pejabat dan oknum aparat penegak hukum,” tandasnya.
(Che/indo)