Jika sebagian penduduk di AS dan barat idap Islamophobia, maka sebagian
penduduk Indonesia dan kawasan mayoritas Muslim di berbagai belahan
dunia mengalami gangguan penyakit “Christianophobia”. Opini Sumanto al
Qurtuby.
Islamophobia atau Islamfobia mengacu pada pengertian ketakutan atau
kekhawatiran yang berlebihan terhadap agama Islam dan kaum Muslim.
Sementara itu, kata "Christianophobia” yang saya maksud disini adalah
sebuah "overdosis kebencian” terhadap umat Kristen serta ketakutan yang
berlebihan terhadap perkembangan agama Nasrani ini. Keduanya sama-sama
"penyakit psikologis” yang bertumpu pada pandangan dan sikap antipati
terhadap Islam maupun Kristen.
Tentu saja munculnya fenomena
Islamophobia dan Christianophobia ini bukan tiba-tiba melainkan melalui
proses yang cukup panjang serta berakar pada sejumlah faktor yang cukup
kompleks. Seorang pakar kajian Islam, Carl Ernst, telah menjelaskan
dengan baik akar-akar kesejarahan dan perkembangan kontemporer
Islamophobia di Amerika ini dalam bukunya Islamophobia in America: The Anatomy of Intolerance.
Meskipun
peristiwa serangan teroris pada 9 September, 2001, yang
meluluhlantakkan gedung World Trade Center di New York dan Pentagon di
Washington, D.C. itu menjadi momentum kebangkitan kebencian terhadap
Islam, tetapi fenomena Islamophobia di Amerika sesungguhnya sudah
berakar jauh sebelum tragedi terorisme yang menelan sekitar 3,000 korban
jiwa itu. Berbagai tulisan tentang "sisi negatif” Islam sudah lama
beredar di kalangan masyarakat Amerika. Sayangnya masih banyak warga
Amerika yang "kuper” dan enggan berselancar menggali pluralitas Islam
dan keanekaragaman kaum Muslim serta "buta” terhadap geografi kultural
umat Islam sehingga setiap membicarakan Islam, yang muncul di benak
mereka adalah jenis keislaman yang serba keras, intoleran, konservatif,
ekstrim, kolot, dan lain sebagainya.
studi-studi keislaman di University of North Carolina, Chapel Hill,
menjelaskan bahwa fenomena Islamophobia di Amerika Serikat bukan hanya
menjangkiti komunitas agama, khususnya Kristen dan Yahudi, tetapi juga
komunitas non-agama seperti kaum ateis, non-teis, sekularis, agnostik,
dlsb. Pula, bukan hanya kalangan non-akademik, komunitas akademik juga
banyak yang terjangkit penyakit Islamophobia ini. Begitu pula kalangan
politisi, policy makers, birokrat, wartawan, dlsb. Tokoh agama maupun masyarakat awam.
Menjangkiti setiap lapisan masyarakat
Jelasnya,
penyakit Islamophobia ini telah menjangkiti hampir semua lapisan
masyarakat Amerika dari berbagai kalangan dan profesi. Ekspresi
overdosis kebencian atas Islam ini sangat terasa di berbagai media:
televisi, radio, medsos, dlsb. Ungkapan-ungkapan sarkastik atas ajaran
Islam, penghinaan terhadap Al-Qur'an serta pelecehan terhadap Nabi
Muhammad dan simbol-simbol keislaman marak di berbagai media dan
acara-acara pertemuan publik. Sebagai orang yang pernah cukup lama
tinggal di Amerika, saya juga merasakan "aura kebencian” yang begitu
menggelora di sebagian kalangan masyarakat "Paman Sam”.
Banyak pihak (ormas, LSM, media, politisi, funding agency,
dan sebagainya) telah diuntungkan secara materi-ekonomi dan finansial
dengan pertumbuhan dan perkembangbiakkan Islamophobia ini sehingga wajar
kalau sejumlah sarjana dan pengamat Islam seperti Nathan Lean dan John
Esposito menyebutnya "Industri Islamophobia” dalam buku mereka yang
berjudul The Islamophobia Industry: How the Right Manufactures Fear of Muslims.
Saya kira kemenangan George W. Bush dan kini Donald Trump sebagai
Presiden Amerika Serikat, antara lain, karena didukung oleh kelompok
Islamophobia yang cukup menggurita di Amerika.
Lain Amerika, lain pula Indonesia
Saya melihat sejak beberapa tahun terakhir, sebagian kaum Muslim dan
ormas Islam di Tanah Air sedang "mengidap gejala Christianophobia”.
Kelompok ini terutama muncul di kota-kota, khususnya Jakarta dan
sejumlah kota besar lain di Indonesia. Fenomena Christianophobia ini
terutama terjadi sejak lengsernya Presiden Suharto tahun 1998 yang
ditandai dengan merebaknya berbagai ormas "Islam kanan” yang menjamur di
berbagai daerah urban. Lahirnya sejumlah ormas "Islam kanan” ini bukan
hanya "produk lokal” saja tetapi juga ada yang menjadi cabang dari
ormas-ormas Islam mancanegara.
Ada banyak faktor, baik faktor
internasional maupun "domestik” (nasional dan lokal), yang turut memberi
kontribusi bagi muncul dan berkembangnya sejumlah ormas "Islam kanan”
yang ditandai dengan pandangan, sikap dan tindakan intoleransi dan
Christianophobia ini. Dalam konteks internasional, berbagai penyerangan
Amerika terhadap Irak dan Afganistan khususnya serta pembelaan
(terselubung maupun terang-terangan) pemerintah Amerika atas Israel,
ketimbang Palestina, turut menciptakan munculnya fenomena
Christianophobia ini.
Sementara itu dalam konteks domestik,
muncul dan maraknya berbagai kelompok Kristen yang agresif dalam
menjalankan "misi penginjilan” di berbagai daerah juga menjadi faktor
penting yang turut menjadi "trigger” bagi perkembangan kelompok
"Islam kanan” yang "anti-Kristen” tadi. Faktor domestik lain adalah
munculnya sejumlah pemimpin politik-pemerintahan beragama Kristen di
beberapa daerah yang mayoritas Muslim.
Beberapa faktor ini membuat sebagian kelompok Islam di Indonesia
was-was atau khawatir akan terjadinya pengambilalihan otoritas atau
kekuasaan, baik kekuasaan politik-ekonomi maupun otoritas
kultural-keagamaan. Mereka khawatir jika kelak Indonesia akan "menjadi
Kristen” dan para elit Kristen akan menjadi "tuan” di negara yang kini
berpenduduk mayoritas Muslim.
Maka untuk mencegah kemungkinan
buruk itu terjadi di masa yang akan datang, berbagai upaya mereka
lakukan untuk "membonsai” ruang gerak umat Kristen. Upaya-upaya yang
kelompok "Islam kanan” lakukan bukan hanya melalui jalur "propaganda
politik” saja tetapi juga lewat "kampanye keagamaan” dengan memproduksi
berbagai wacana atau diskursus keagamaan yang "anti-Kristen” maupun
dengan menyebarluaskan teks-teks klasik dan pendapat sejumlah ulama dan
tokoh Islam, khususnya yang kontra Kristen dan kekristenan, sementara
mengabaikan teks-teks klasik Islam yang pluralis dan pendapat para ulama
yang toleran.
Para pendukung Islamophobia maupun
Christianophobia sesungguhnya sama-sama ekstrim dan menderita "penyakit
psikologis” akut yang perlu "diruwat” agar kembali "normal” seperti
sedia kala. Memang ada kelompok Islam ekstrim dan intoleran tetapi tidak
semua kaum Muslim itu radikal dan intoleran. Banyak umat Islam yang
mengedepankan akal-sehat dan bersikap toleran-pluralis dalam menyikapi
masalah sosial-politik-keagamaan. Begitu pula sebaliknya: ada umat
Kristen yang "bigot” dan antipati terhadap Islam dan kaum Muslim tetapi
juga banyak sekali kaum Nasrani yang waras, toleran, humanis dan
bersahabat dengan umat Islam. Karena itu janganlah suka mengeneralisir,
atau menurut orang Jawa "gebyah uyah”, dalam menyikapi sebuah persoalan tetapi harus dengan hati yang lapang, pikiran yang panjang, dan jiwa yang tenang.
Penulis: Sumanto al Qurtuby
Dosen
Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences,
King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar
di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari
Boston University serta telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan
buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016).
********