Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial
dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha
Soekarno diangkat menjadi pahlawan nasional tanpa penentangan berarti.
Bagaimana dengan Suharto, yang mengawut-awut kehidupan satu negara
semata untuk kenyamanan satu keluarga? Berikut pandangan Geger Riyanto. Soekarno punya kekurangannya. Hatta, kolega terdekatnya, pernah
menggambarkannya tanpa tedeng aling-aling. Sang Presiden adalah
diktator. Ia tak terima kritik. Ia membangun sistem yang akan rontok
seketika ia pergi.
Dan, ironis. Tak lama setelah tulisan "Demokrasi Kami" yang memuat
kritik Hatta terbit, koran-koran diperingatkan agar tidak menerbitkan
pikirannya lagi. Mantan wakil presiden pertama itu selepasnya kesulitan
untuk bersuara melalui media, bahkan dengan media yang rutin menerbitkan
pandangannya.
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia memang ruwet pada masa itu. Ada
yang mengatakan otoritarianisme Soekarno di sana-sini dapat dimaklumi.
Di tengah-tengah maraknya pemberontakan sejumlah daerah serta kelompok,
mencuatnya pendapat figur sekelas Hatta di publik rawan menginspirasi
insurgensi baru. Dan Soekarno, kalau kita mau bersimpati dengannya,
adalah sosok yang terlalu mencintai keutuhan Indonesia.
Namun, satu hal tetap tak dapat ditampik. Soekarno punya seteru.
Ketidakpuasan Hatta pun, dapat dipastikan, hanya pucuk dari kegeraman
yang terlihat. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus-menerus menanjak
dan ketidakengganan Soekarno memperlihatkan keriaan-keriaan istana ke
khalayak, antipati terhadap presiden adalah hal yang terpupuk dan terus
terpupuk.
Soe Hok Gie menumpahkan kepenatan ini dalam catatan hariannya. Soekarno,
ia mencurigai, sedang didekadensi secara sistematis. "Seolah-olah Bung
Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi
kaisar-kaisar yang punya harem," tulis Gie. "Tiap minggu diadakan pesta
di istana dengan omongan cabul dan perbuatan-perbuatan cabul."
Soekarno diangkat menjadi pahlawan nasional pada 2012, tanpa keberatan
berarti. Tak ada yang mempertanyakan kelayakannya. Kini, pertanyaan
saya, apakah figur Soekarno akan memperoleh gelarnya semulus itu andai
penghargaan diadakan awal 1970-an? Kita boleh meragukannya. Benar, kita
tak bisa melupakan Orde Baru tengah melancarkan upaya-upaya
desukarnoisasi saat itu. Tetapi, ingatan buruk publik ihwal masa
kepemimpinannya pun masih terlalu pekat.
Terlepas benar atau salah tindakan-tindakannya sebagai presiden, sosok
Soekarno belum pudar kelekatannya dengan masa-masa ekonomi paling pelik
dalam sejarah pemerintahan Indonesia serta ketidakmampuan jajaran
pemerintahan menanggapinya dengan satu bahasa yang dimengerti insan
awam: cepat. Kendati masih memiliki basis pendukung dan citra yang
nyaris mesianistis, Sukarno pun sudah menjadi sosok yang fana.
Penobatan kepahlawanan Soekarno, setidaknya bisa dipastikan, akan
menghadapi lebih banyak suara miring dibanding ketika ia diangkat
pahlawan nasional oleh Presiden SBY tempo hari, pada saat publik sudah
berjarak dengan kekalutan pada masanya.
Bagaimana dengan Suharto?
Dan kini, pertanyaan kedua saya. Apakah Suharto, yang saat ini tengah
diragukan kepatutannya untuk menjadi pahlawan nasional, sedang mengalami
nasib yang saya ilustrasikan barusan? Apakah kita masih terlalu dekat
dengan detik-detik pelengserannya sehingga belum bisa berpikir melampaui
peninggalan-peninggalan buruknya? Apakah pikiran kita masih belum cukup
jernih untuk memikirkan maslahat yang dibawakan kepresidenannya?
Suharto, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, lagi pula, memiliki
cerita-cerita suksesnya. Kepresidenannya melanggengkan pemerintahan
stabil yang benar-benar hanya dapat diimpikan sebelumnya. Seperti
julukannya, Bapak Pembangunan, eranya diikuti dengan pertumbuhan ekonomi
yang menjulang. Singkat kata, argumentasi mengapa Suharto layak dijadikan pahlawan nasional akan selalu ada.
Namun, kita seyogianya tidak lupa dengan satu hal yang akan saya
sampaikan ini, sampai kapan pun. Pada masa Suharto, kita pernah menjadi
saksi tak berdaya ketamakan tiada tara yang dilindungi
kesewenang-wenangan mengerikan. Gambarannya? Saya belum bisa
membayangkan penggambaran yang lebih tepat dari analogi informan
penelitian disertasi Francisia SSE. Seda ini.
"Bu, kalau kepala desa bisa memiliki dua lumbung, bukankah hal yang biasa bila presiden memiliki tiga lumbung?"
“Boleh-boleh saja. Masalahnya, orang-orang tersebut [Suharto dan para kroni] tidak memiliki tiga, melainkan sepuluh.”
Itulah yang, nyaris secara harfiah, terjadi.
Perkenankan saya memperlihatkan sekadar beberapa di antara kemarukan yang sangat memalukan tersebut.
Kemarukan demi kemarukan
Mungkin tak semua ingat ketika saya menyebut satu akronim ini: BPPC.
Tetapi, banyak warga Indonesia Timur tak akan lupa. Mereka mengingat
pendirian Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh ini sebagai permulaan
hari-hari di mana mereka menebangi pohon cengkeh milik mereka.
Pada 1992, Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden yang berujung cengkeh
hanya bisa dipasarkan melalui BPPC. Badan ini diketuai oleh, terka
saja, Hutomo Mandala Putra. Tommy Suharto. Sebelumnya, cengkeh dapat
ditaksir Rp9.000-10.000 per kilogram. Tetapi, BPPC menetapkan petani
harus melepasnya ke KUD dengan harga serendah Rp2.000-2.500 per kilogram
(Pindai, 09/04).
Para petani, tentu saja, tak punya pilihan. Anak-anak petani cengkeh tak
bisa melanjutkan sekolah. Banyak petani yang sebagai akibatnya terbelit
kemiskinan dan sebagian memilih merantau ke kota, menjadi buruh kasar.
Dan BPPC? BPPC, sebelum dibubarkan Gus Dur pada 1998, ditaksir ICW
mengambil sejumlah uang yang seharusnya disalurkan kembali kepada
petani. Negara dirugikan sebesar Rp1,9 triliun. Uang yang masuk ke kocek
Tommy? Entah.
Ini baru satu cerita. Pada 1980, menurut laporan Tempo 16 November 1998,
impor dan ekspor minyak serta gas Pertamina dilakukan oleh sebuah
perusahaan perantara, Permindo. Perusahaan ini dimiliki tak lain oleh
Bambang Trihatmojo, putra kedua Suharto, dan nama lain yang tak asing,
Aburizal Bakrie. Perusahaan ini menghasilkan Rp183 miliar tiap bulan
sampai dengan ia dibubarkan pada 1998.
Di sisi suplai dan distribusi bensin dari industri yang sama, terdapat
lima pemain dan kelimanya punya relasi dengan Suharto serta keluarganya.
Proyek pemasangan pipa gas sepanjang Pulau Jawa dimonopoli Tutut.
Pembangunan Depo Pertamina dijalankan Ari Sigit. Enam puluh persen
distribusi BBM di Indonesia dikuasai Titik Suharto—yang hari ini menjadi
anggota DPR dari fraksi Golkar.
Dan, selain masih banyak lagi fakta penguasaan sumber daya berharga yang
mencengangkan, masing-masing anak Suharto memiliki jatah sumur
minyaknya.
Pemandangan keseharian keluarga Suharto ini bukan hanya memuakkan bagi
warga biasa. Para jenderal, yang pernah begitu dipercaya Suharto dan
memiliki aktivitas licinnya masing-masing, juga tak dapat menahan
kegeramannya dari waktu ke waktu.
Ibnu Sutowo, ambil saja, yang kemudian memiliki dinasti bisnisnya
sendiri yang acap dianggap bermasalah, tak menahan diri untuk
berpendapat blak-blakan dalam wawancara dengan Seda. Suharto,
menurutnya, terlalu korup. Ia tak akan pernah bisa mempunyai strategi
industrialisasi nasional jangka panjang, imbuhnya.
Dan sejauh apa keberatan warga awam punya arti dalam situasi ini?
Saya gambarkan saja dengan sebuah cerita. Menurut satu cerita yang
direkam A. Pambudi dalam bukunya Sintong dan Prabowo, suatu hari ketika
keduanya bersantai bersama, Benny Murdani mengingatkan Suharto perihal
anak-anaknya. Suharto, yang sedang bermain bilyar dengannya, serta-merta
saja hening. Ia lantas memasuki kamarnya, meninggalkan Murdani
sendirian. Suharto tersinggung.
Pada saat itu juga Murdani sadar, kata-katanya telah membelejeti
kariernya sendiri. "Wah, bapake kethoke nesu banget," ujar Benny kepada
Sudomo setelahnya. "Jadi [karier] saya pasti sudah selesai, hanya akan
sampai di sini." Dan Murdani benar.
Murdani bukan orang sembarangan. Menurut David Jenkins yang menyusun
penelitian paling komprehensif tentang drama di antara Suharto dan para
jenderalnya, Murdani adalah salah satu sosok paling berkuasa di
Indonesia pada masanya.
Memang, ada versi cerita lain tentang mengapa karier Murdani yang
melesat tiba-tiba saja terantuk tembok tak terlihat. Namun, fakta bahwa
cerita barusan berseliweran di mana-mana mengisyaratkan cerita ini
terlalu masuk akal bagi banyak orang. Suharto, memang, dapat melakukan
apa pun untuk melindungi kesemenaannya maupun kesemenaan mereka yang
berada di lingkaran terdekatnya.
Apa yang dilakukan Suharto dalam kehidupan pribadinya pada hari-hari kejayaan tersebut?
Satu yang dapat dipastikan, ia disibukkan dengan kesenangan merumuskan
petuah-petuah arif yang kemudian terhimpun dalam buku Butir-butir Budaya
Jawa. Buku ini terbit pada 1987 dan, pada halaman pembukanya, Suharto
mewariskan ini kepada anak-anaknya “sebagai pegangan hidup."
Apa yang diingat orang-orang dari buku ini adalah ajarannya—selayaknya
buku-buku kebijaksanaan tentu. Namun, lebih tepatnya, ironinya. Ironi
ajarannya.
Seberapa ironis?
Saya cuilkan saja satu nasihatnya: "Harta yang bersih itu harta yang
asalnya dari bekerja dan dari hasil lainnya yang tidak merugikan orang
lain. Sedang harta yang tidak bersih itu harta curian atau menemu
kepunyaan orang lain yang ketahuan oleh yang kehilangan."
Tetapi, pada masanya orang-orang tak terlalu naif untuk mencari gambaran
Suharto dari kata-katanya sendiri. Mereka mencarinya dari guyonan,
cemooh, gosip karena di sanalah, kendati tak selalu akurat, mereka
memperoleh gambaran yang tak munafik. Dan satu gambaran yang paling
memuaskan saat itu datang dari cerpen Seno Gumira Ajidarma—"Kematian
Paman Gober."
"Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya
setiap hari," tulis Seno dalam cerpennya. "Gudang-gudang uangnya
berderet dan semuanya penuh." Paman Gober tak hafal lagi pabrik apa saja
yang dimilikinya. Uang dicetak seakan untuknya. Namun dengan
kekayaannya yang tanpa banding, para bebek masih diperas untuk bekerja
tanpa bayaran olehnya.
Para bebek tak berdaya. Apa yang dapat dilakukan hanyalah menunggu Paman
Gober, yang memang sudah lanjut usia, mati. Dan itulah yang mereka
lakukan. Setiap pagi, mereka tak sabar melihat koran dengan harapan
berita utama hari itu adalah kematian Paman Gober.
Siapakah Paman Gober?
Mungkin bukan siapa-siapa. Seno, mungkin saja, tak sedang berusaha
mencemooh sosok nyata tertentu dan fiksinya tak pernah diniatkan menjadi
lebih dari fiksi. Namun, fakta bahwa cerpen ini begitu mengisap
perhatian pada masanya mengisyaratkan pembaca merasakan keterkaitan
ganjil antara fiksi ini dengan kenyataan yang mereka hidupi.
Hidup mereka sama peliknya mungkin—berputar di satu sosok yang sama-sama
sewenang-wenang dan vulgar dalam mementaskan kesewenang-wenangannya.
Suharto, dus, pada titik ini kita dapat mengatakan, punya
kekurangannya. Kekurangannya dapat dihitung. Sama dengan kelebihannya.
Namun, seandainya pun kelebihannya jauh lebih banyak, kekurangan Suharto
fatal—terlalu fatal. Figurnya adalah ikon sebuah ketidakpatutan yang
tak akan pernah bisa dibenarkan—yang mengawut-awut kehidupan satu negara
semata untuk kenyamanan satu keluarga. Sepanjang Indonesia disepakati
bersilakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya dan kita masih ingat
betapa sesaknya hari-hari di bawah pemerintahannya, pengangkatan Suharto
menjadi pahlawan nasional adalah noda.
Kendati begitu, mungkin saja suatu hari kita lupa. Mungkin, itu yang
diharapkan berbagai pihak yang mendesak penabalan kepahlawanannya.
Mungkin apa yang mereka harapkan, ingatan kita yang tersisa tinggal
betapa murah harga-harga di masa kepresidenannya, dan betapa tenangnya
masyarakat di hari-hari itu.
Tetapi, saya percaya, banyak yang akan terus memastikan kita mengingat
dengan benar. Bahwa hak kita, pada hari-hari kekuasaannya, sama
murahnya. Bahwa ketenangan, pada masa itu, dibeli dengan kepatuhan buta. Bahwa, sejatinya, kita tak menginginkan hari-hari itu kembali.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam website ini menjadi tanggung jawab penulis.





0 Reviews:
Post a Comment