Penulis: Hendrajit
Pada 1998, Rand Corporation, sebuah tanki pemikiran yang dibiayai
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat(Pentagon), merekomendasikan
Indonesia dibagi tujuh bagian.Salah satunya, Papua.
Fakta bahwa rekomendasi Rand Corporation yang ditujukan kepada
pemerintahan Presiden Bill Clinton itu hingga kini belum dicabut,
mengisyaratkan bahwa upaya-upaya terbuka maupun melalui operasi senyap,
tetap berlangsung hingga sekarang.
Baru-baru ini, yang menamakan dirinya United Liberation Movement for
West Papua (ULMWP), berkeinginan untuk menjadi anggota Melanesian
Spearhead Group (MSG) yang akan dibahas di London pada tanggal 3 Mei
2016. Satu hal lagi yang tak boleh dianggap enteng, beberapa organisasi
sipil di Papua sudah menggalang dan memobilisasi massa untuk melakukan
desakan politik agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG.
Misal, beberapa organisasi seperti Parlemen Rakyat Daerah (PRD)
Wilayah Merauke telah mengajak seluruh pendukung dan simpatisan serta
rakyat Papua untuk mendukung ULMWP menjadi anggota tetap di MSG dan
menuntut diadakannya Referendum bagi West Papua yang akan dibahas pada
pertemuan IPWP di London-Inggris pada 3 Mei 2016.
Kalau menelisik langkah ini, jelaslah sudah bahwa gerakan
meng-internasionalisasikan isu Papua, memang masih cukup gencar
dilalukan oleh beberapa elemen-elemen pro Papua Merdeka di dalam maupun
di luar negeri. Hal itu semakin diperkuat dengan perkembangan terkini,
ketika Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, desakan agar ULMWP
menjadi anggota penuh MSG merupakan keinginan murni rakyat West Papua
yang menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia, dan seluruh
masyarakat Papua yang tergabung dalam KNPB tidak takut jika ditangkap
oleh aparat.
Tolong cermati frase yang digunakan KNPB, “Menuntut bebas dari penjajahan kolonial Indonesia.” Mengerikan bukan?
Sementara itu, keputusan Sidang Paripurna ke-IV Parlemen Nasional
West Papua (PNWP) kepada Pemerintah Indonesia, International
Parliamentarians for West Papua (IPWP), International Lawyers for West
Papua (ILWP), dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Telah memutuskan, antara lain mengakui ULMWP sebagai badan koordinasi
dan persatuan yang mewakili seluruh kepentingan bangsa Papua yang
bertempat tinggal di wilayah Papua dan Papua Barat.
Lebih mengkhawatirkan lagi, di kantor LBH Jakarta, Kelompok
Masyarakat Sipil Pendukung Kebebasan Berekspresi di Papua dalam jumpa
pers bertema “Hentikan Represifitas dan Pengekangan Kebebasan
Berekspresi Rakyat Papua”. Aktivis LBH Jakarta, Alghifari Aqsa
mengatakan, puluhan kelompok masyarakat sipil mendukung hak atas
kebebasan berekspresi rakyat Papua.
“Kami mendukung penuh hak konstitusional atas kebebasan berekspresi
rakyat Papua, mendesak aparat TNI/Polri untuk tidak bertindak represif
kepada rakyat Papua,” tambahnya.
Sepertinya, gerakan-gerakan separatis yang bermaksud memerdekakan
Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) itu semakin mendapat
angin dengan adanya dukungan-dukungan berbagai kelompok masyarakat
sipil atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi yang berbasis di
Jakarta.
Sehingga Presiden Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB)
berani-beraninya menyatakan deklarasi kemerdekaan Papua tahun 2011 itu
benar dan pernyataan kemerdekaan sepihak itu menurut hukum kebiasaan
internasional sudah memenuhi syarat-syarat (sudah sah). Dengan deklarasi
sepihak, menurut hukum internasional secara otomatis kita sudah
mendapat predikat subyek. Tentu saja maksudnya adalah sebagai subyek
hukum internasional alias negara-bangsa.
Bagaimanapun juga bagi pemerintah Indonesia, hal semacam ini harus
dipandang sebagai Lampu Kuning. Karenba menurut Presiden NRFPB,
Pemerintah Indonesia juga pernah melalui tahapan hukum ini di tahun 1945
yang dideklarasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, pada tahun 1946
dibawa ke Liga Arab karena ASEAN belum ada untuk mengakui dan Liga Arab
mengakui.
“Untuk memperoleh pengakuan kami pilih jalan damai dan bukan jalan
perang, dengan agenda-agenda, yaitu meminta pengakuan dari dunia
internasional khususnya dari Indonesia dan penyerahan kedaulatan;
negosiasi langsung dengan Pemerintah Indonesia, hal ini berdasarkan
pasal 33 ayat 1 piagam PBB; dan mengajukan gugatan sengketa aneksasi ke
International of Justice. Walaupun kami Negara baru belum diakui PBB dan
belum menjadi anggota PBB, ini kami ajukan berdasarkan pasal 35 ayat 2
piagam PBB disebutkan bahwa Negara yang bukan anggota PBB bisa
mengajukan sengketa ke Majelis Umum PBB dan ke Dewan Keamanan PBB,”
begitu tandas Presiden NRPB.
Pada tataran tertentu, kita berterimakasih dengan pernyataan
tersebut, karena setidaknya tanpa dia sadari telah menginformasikan
langkah-langkah strategisnya kepada para pihak yang berwenang di bidang
Politik dan Keamanan pemerintahan Jokowi-JK. Entah dia sadari atau
tidak.
Memang kita sebenarnya tak perlu khawatir dari segi aksi politik yang
dimotori elemen-elemen pro Papua Merdeka. Karena sampai pada tahapan
ini, belum ada manuver-manuver politik dan diplomasi yang cukup
mematikan langkah politik dan diplomatik pemerintah Indonesia.
Begitupun, gerakan-gerakan semacam ini tetap saja mengganggu dan
menggelisahkan, mengingat arahnya adalah untuk meng-internasionalisikan
isu Papua, padahal isu Papua merupakan masalah dalam negeri Indonesia.
Memang benar bahwa desakan ULMWP masuk menjadi anggota penuh MSG pada
KTT MSG 3 Mei 2016 di Suva, Fiji, bukan sebuah peristiwa internasional
yang punya dampak berskala internernasional. disebabkan karena tidak ada
agenda politik membahas penambahan anggota MSG dalam KTT tersebut dan
ULMWP tidak merepresentasikan negara melainkan komunitas politik yang
tidak jelas tujuan perjuangannya.
Meskipun manuver ULMWP tidak terlampau membikin daya rusak kepada
Indonesia, namun tak urung cukup mengganggu juga di saat Kementerian
Luar Negeri belakangan ini amat memberi priorirtas untuk menjalin
kerjasama-kerjasama strategis dengan negara-negara Pasifik yang notabene
berasal dari etnik Melanesia.
Sejauh ini, di kalangan negara-negara Pasifik, hanya Vanuatu yang
mendukung Papua merdeka, sedangkan Fiji dan negara MSG lainnya tetap
menginginkan Papua tetap dibawah NKRI. Namun, tak pelak lagi aksi
destabilisasi ULMWP tersebut suatu saat bisa sangat merepotkan
pemerintah Indonesia, ketika ada momentum internasional yang tidak
menguntungkan Indonesia. Sekarang memang hanya Vanuatu yang mendukung
Papua merdeka, namun tak ada yang bisa jamin ke depan tidak akan diikuti
oleh negara-negara anggota MSG lainnya.
Selain daripada itu, sikap dan arah kebijakan luar negeri Inggris ke
depan kiranya perlu kita cermati secara terus-menerus. Memang, sekarang
ini Inggris sekadar tidak melarang orang atau kelompok untuk melakukan
aksi unjuk rasa, dengan alasan kebebasan berpendapat di Inggris sangat
dihargai, kecuali jika sebuah gerakan politik telah membuat petisi dan
dibahas dalam parlemen, maka Pemerintah Inggris akan menindak dan
melarangnya. Sejauh ini, IPWP, ULMWP ataupun aktivis Papua merdeka di
Inggris tidak berani melakukan aktivitas politik apapun, kecuali unjuk
rasa kecil-kecilan.
Tapi ya itu tadi. Tak ada jaminan suatu ketika sikap Inggris akan
berubah dari bersikap netral pasif, kemudian mengubah sikapnya menjadi
pro aktif mendukung. Kiranya hal itu seiring dengan pasang-surut
hubungan bilateral Indonesia-Inggris.
Selain dari itu, manuver Presiden NRFPB yang mencoba mencari celah
dengan mengutip pasal 35 ayat 2 piagam PBB disebutkan bahwa Negara yang
bukan anggota PBB bisa mengajukan sengketa ke Majelis Umum PBB dan ke
Dewan Keamanan PBB, tentu saja sekarang dinilai sama sekali tidak masuk
akal. Mengingat secara de fakto pemerintah Indonesia pegang kendali
penuh atas kedaulatan nasional di Papua. Dan resmi merupakan wilayah
kedaulatan NKRI.
Namun demikian hal tersebut tetap harus kita waspadai, karena sekecil
apapun arus gelombang gerakan-gerakan pro Papua Merdeka, suatu ketika
berpotensi untuk membesar jika ada momentum dalam negeri maupun
internasional, yang menciptakan situasi kondusif bagi Papua Merdeka.
Mencermati gerakan ULMWP maupun NRFPB baru-baru ini, setidaknya
mereka-mereka yang menganut agenda politik tersebut, punya skema dan
skenario, dan juga punya jaringan kontak di tingkat internasional.
Meskipun lingkup gerakannya masih belum mengakar di kalangan masyarakat
Papua, dan masih bersifat elitis.
*****
